Pasardana.id - Kenaikan suku bunga global utamanya Fed Fund Rate (FFR) membuat investasi di UST Bond menjadi lebih menarik karena imbal hasil (yield) yang ditawarkan semakin tinggi.
Hal itu juga didukung suku bunga deposito USD di AS yang dapat mencapai 5,25% - 5,75%.
Hal ini telah mendorong permintaan atas USD sehingga menyebabkan mata uang lain terdepresiasi termasuk Rupiah.
Dollar index cenderung menguat sementara pergerakan nilai tukar IDR/USD cukup volatile dengan kecenderungan melemah dalam enam bulan terakhir.
Menanggapi kondisi ini, Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK menyampaikan, bahwa peningkatan suku bunga secara global memberikan dampak yang bervariasi pada sektor perbankan di Indonesia.
“Meningkatnya suku bunga global ditambah dengan fluktuasi nilai tukar, menyebabkan mahalnya biaya dana dari luar negeri bagi korporasi,” sebut Dian seperti dilansir dalam siaran pers, Senin (15/7).
Lebih lanjut dijelaskan, dari sisi fungsi intermediasi, hal ini berdampak positif bagi pertumbuhan kredit perbankan Indonesia utamanya dari sisi kredit produktif karena dari daya tarik kredit perbankan domestik akan semakin menarik bagi korporasi domestik.
Di sisi lain, lanjutnya, untuk memperkuat stabilitas nilai Rupiah - salah satunya dari dampak kenaikan suku bunga global, suku bunga acuan di Indonesia telah meningkat secara bertahap dari 3,50% menjadi 6,25% atau terhitung sebanyak 8 (delapan) kali dalam kurun waktu kurang dari dua tahun.
“Meningkatnya suku bunga acuan juga berdampak bagi peningkatan biaya dana perbankan atau biaya bunga DPK,” ujar Dian.
Di sisi lain, jelasnya lagi, perbankan Indonesia lebih berhati-hati dalam menaikkan suku bunga kredit, meskipun suku bunga dana cenderung meningkat, sehingga dapat menyebabkan tekanan pada profitabilitas perbankan.
“Hal ini mengingat profitabilitas perbankan yang memang sangat baik, dan masih didukung oleh pertumbuhan kredit, Net Interest Margin (NIM) dan Return On Asset (ROA) industri perbankan yang masih tergolong tinggi meskipun mengalami sedikit penurunan. Adapun pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan meskipun tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, namun pertumbuhannya masih lebih rendah dibandingkan kredit,” bebernya lagi.
Ditambahkan, pertumbuhan DPK yang melambat utamanya pada deposito, yang juga dipengaruhi oleh banyaknya alternatif instrumen penempatan dana selain deposito perbankan.
“Gap antara pertumbuhan kredit dan DPK menyebabkan bank melakukan penjualan surat berharga dan mengurangi alat likuid. Hal ini juga menyebabkan likuiditas perbankan mengalami tekanan, terlihat dari menurunnya rasio likuiditas bank, meskipun masih jauh di atas threshold dan berada pada level yang lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi,” tandas Dian.
加载失败()